Jumat, 27 Juli 2012

BAHASA DAN SASTRA DI ERA GLOBALISASI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kita tengah memasuki pada masa ini merupakan perubahan masa dimana diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia. Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi). Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses perubahan. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai bahasa resmi negara, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional bagi kepentingan menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan, dan alat pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, seni, serta teknologi modern. Fungsi-fungsi ini tentu saja harus dijalankan secara tepat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fungsi bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan lembaga-lembaga pendidikan seperti telah disebutkan di atas adalah sebagai bahasa pengantar. Jadi, dalam kegiatan atau proses belajar-mengajar bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, saat ini muncul fenomena menarik dengan adanya Sekolah Nasional Berstandar Internasional (SNBI). Kekhawatiran sebagaian orang terhadap keberadaan bahasa Indonesia dalam SNBI muncul karena bahasa pengantar yang digunakan dalam beberapa mata pelajaran adalah bahasa asing. Padahal kalau kembali ke fungsi bahasa Indonesia, salah satunya adalah bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam era globalisasi? 2. Bagaimana Jati Diri Bahasa Indonesia di era globalisasi? 3. Bagaimana pendidikan Bahasa Indonesia di era globalisasi? BAB II PEMBAHASAN 1. Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Era Globalisasi Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah “menggusur” sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula. Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara. Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih. Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya). Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia. 2. Jati Diri Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi. Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan (bahkan) tidak cocok dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar atau pengaruh asing ini sangat besar kemngkinannya terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan kata lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Setiap warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya adalah pembina bahasa Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama pembinaan bahasa Indonesia ialah menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Untuk menyatakan sikap positif ini dapat dilakukan dengan (1) sikap kesetiaan berbahasa Indonesia dan (2) sikap kebanggaan berbahasa Indonesia. Sikap kesetiaan berbahasa Indonesia teruangkap jika bangsa Indonesia lebih suka memakai bahasa Indonesia daripada bahasa asing dan bersedia menjaga agar pengaruh asing tidak terlalu berlebihan. Sikap kebanggan berbahasa Indonesia terungkap melalui kesadaran bahwa bahasa Indonesia pun mampu mengungkapkan konsep yang rumit secara cermat dan dapat mengungkapkan isi hati yang sehalus-halusnya. Yang perlu dipahami adalah sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup dan kaku. Bangsa Indonesia tidak mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia (sebagaimana aliran purisme) dan menutup diri dari saling pengaruh dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus bisa membedakan mana pengaruh yang positif dan mana pengaruh yang negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sikap positif seperti inilah yang bisa menanamkan percaya diri bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia itu tidak ada bedanya dengan bahasa asing lain. Masing-masing bahasa mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan bagi terciptanya disiplin berbahasa Indonesia. Selanjutnya, disiplin berbahasa Indonesia akan membantu bangsa Indonesia untuk mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif asing atas kepribadiannya sendiri. Hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi pergaulan antarbangsa dan era globalisasi ini. Di samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta kepada bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga negara Indonesia mesti bangga mempunyai bahasa Indonesia dan lalu menggunakannya dengan baik dan benar. Rasa kebanggaan ini pulalah yang dapat menimbulkan rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap warga negara yang baik mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sikap pemakai bahasa Indonesia demikian ini merupakan sikap yang positif, baik, dan terpuji. Sebaliknya, apabila yang muncul adalah sikap yang negatif, tidak baik, dan tidak terpuji, akan berdampak pada pemakaian bahasa Indonesia yang kurang terbina dengan baik. Mereka menggunakan bahasa Indonesia "asal orang mengerti". Muncullah pemakaian bahasa Indonesia sejenis bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mereka tidak lagi memperdulikan pembinaan bahasa Indonesia. Padalah, pemakai bahasa Indonesia mengenal ungkapan "Bahasa menunjukkan bangsa", yang membaw pengertian bahwa bahasa yang digunakan akan menunjukkan jalan pikiran si pemakai bahasa itu. Apabila pemakai bahasa kurang berdisiplin dalam berbahasa, berarti pemakai bahasa itu pun kurang berdisiplin dalam berpikir. Akibat lebih lanjut bisa diduga bahwa sikap pemakai bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari pun akan kurang berdisiplin. Padahal, kedisiplinan itu sangat diperlukan pada era globalisasi ini. Lebih jauh, apabila bangsa Indonesia tidak berdisiplin dalam segala segi kehidupan akan mengakibatkan kekacauan cara berpikir dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Apabila hal ini terjadi, kemajuan bangsa Indonesia pasti terhambat dan akan kalah bersaing dengan bangsa lain. Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Untuk itu, bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, Tatabahasanya mempunyai sistem sederhana, mudah dipelajari, dan tidak rumit. Kesederhanaan dan ketidakrumitan inilah salah satu hal yang mempermudah bangsa asing ketika mempelajari bahasa Indonesia. Setiap bangsa asing yang mempelajari bahasa Indonesia dapat menguasai dalam waktu yang cukup singkat. Namun, kesederhaan dan ketidakrumitan tersebut tidak mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam pergaulan dan dunia kehidupan bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan antarbangsa. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri dapat dipergunakan untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang rumit dalam ilmu pengetahuan dengan jernih, jelas, teratur, dan tepat. Bahasa Indonesia menjadi ciri budaya bangsa Indonesia yang dapat diandalkan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa pada era globalisasi ini. Bahkan, bahasa Indonesia pun saat ini menjadi bahan pembelajaran di negara-negara asing seperti Australia, Belanda, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan Korea Selatan. 3. Pembelajaran bahasa indonesia pada era globalisasi. Dalam menghadapi era global saat ini, tampaknya kita harus berbenah untuk menghadapi berbagai fenomena yang terjadi. Tujuan pembelajaran bahasa yang mengarah pada penggunaan bahasa perlu mendapat pencermatan kita. Saat ini perhatian para guru bahasa Indonesia tertuju pada upaya menerampilkan siswa dalam penggunaan bahasa Indonesia. Pertanyaan kritis untuk kondisi seperti itu adalah apakah kita akan berhenti melakukan upaya dalam pembelajaran bahasa manakalah para siswa terampil menggunakan bahasa. Pada era global diperlukan pikiran-pikiran kritis dan kreatif. Kemampuan berpikir tersebut perlu mendapat perhatian para pendidik, termasuk guru bahasa Indonesia. Untuk itu, pembelajaran bahasa Indonesia saat ini tidak sekadar mencapai keterampilan berbahasa Indonesia, tetapi juga mengarah pada peningkatan kemampuan berpikir tersebut. Dengan kata lain, sudah saatnya kita bertanya diri apa yang bisa kita berikan untuk menjadikan siswa berpikir kritis dan kreatif melalui pembelajaran bahasa Indonesia. Berpikir kritis merupakan salah satu kegiatan manusia yang saat ini sangat diperlukan untuk mengembangkan berbagai segi kehidupan, baik sosial, budaya, maupun teknologi. Alvino (dalam Cotton,1991) menyatakan bahwa, “berpikir kritis adalah proses menentukan kebenaran, ketepatan, atau penilaian terhadap sesuatu yang ditandai dengan mencari alasan dan alternatif, dan mengubah pandangan seseorang berdasarkan bukti”. Scriven & Paul (dalam Cotton,1991; Piaw, 2004:66) memberikan batasan terhadap berpikir kritis sebagai salah satu model berpikir tentang suatu subjek, isi, atau masalah – yang digunakan oleh seseorang untuk meningkatkan kualitas berpikirnya melalui penggunaan struktur berpikir secara cekatan dan menentukan standar intelektualnya. Kedua batasan tersebut memunculkan pemahaman bahwa berpikir kritis terkait dengan logika. Lebih lanjut Alvino menyatakan bahwa berpikir kritis disebut juga berpikir logis dan berpikir analitis. Alvino membatasi berpikir kreatif sebagai cara melihat dan melakukan sesuatu yang baru yang ditandai dengan kelancaran (menghasilkan banyak gagasan), kelenturan (mengubah pandangan secara mudah), keaslian (memiliki kebaruan), dan elaborasi (membangun berbagai gagasan). Facione (1998) menyatakan bahwa berpikir kreatif atau berpikir inovatif adalah sejenis berpikir yang menimbulkan wawasan baru, pendekatan baru, perspektif yang segar, yang semuanya merupakan cara-cara baru untuk memahami dan menyusun sesuatu. Secara singkat Smalling (dalam Cotton,1991) memberikan batasan bahwa creative thinking is the ability to invent original ideas for accomplishing goals. Ketiga batasan tersebut terkait dengan unsur “baru”. Unsur ini menjadi penanda kreativitas. Unsur “baru” dalam produk kreatif ini tidak berarti harus “baru sama sekali”. Unsur 5 ini dapat dihasilkan dari proses kombinasi, penggabungan, atau penyusunan kembali gagasan. Dengan demikian, “kebaruan” lebih dekat dengan pertimbangan dari sudut pengalaman pencipta. Selain itu, bukan berarti produk kreatif hanya didasarkan pada unsur “baru” tanpa mempertimbangkan proses berpikir yang melahirkan kebaruan tersebut. Produk kreatif lahir dari proses berpikir yang melibatkan juga struktur berpikir logis sehingga “keanehan”, “keunikan”, dan “keganjilan” masih dapat dijelaskan secara rasional. Misalnya, robot sebagai produk kreatif di bidang teknologi, baik dalam penciptaannya maupun operasinya menggunakan prinsip-prinsip logika teknologi. Kedua jenis berpikir tersebut sangat tepat untuk mendedah pembelajaran bahasa Indonesia saat ini. Mari kita tafakur: sudahkah kita mengarahkan pembelajaran bahasa Indonesia untuk menjadikan siswa mampu berpikir kritis dan kreatif sehingga mereka dapat menghadapi berbagai tantangan dalam era global saat ini; bagaimana caranya sehingga pembelajaran bahasa Indonesia mampu menggerakkan pikiran kritis dan kreatif siswa. * Faktor penghambat dan pendukung. Pembelajaran bahasa Indonesia saat ini, menurut saya, belum menuju pada pembentukan kedua pola berpikir tersebut. Para guru masih sibuk memikirkan pencapaian berbagai kompetensi yang dituntut KTSP sehingga pembelajaran yang berlangsung belum menembus hakikat pembentukan pola berpikir. Agar pembelajaran bahasa Indonesia masuk ke zona pembentukan pola berpikir, teknik-teknik pembelajarannya perlu dikokohkan. Armstrong (2009:vii) menyatakan bahwa sarana berpikir kreatif membantu menyatukan fungsi hemisfer kanan –kiri, memperkuat, dan mengintegrasikan proses berpikir secara serempak, tetapi bertahap. Lebih lanjut Armstrong menawarkan teknik pembelajaran melalui solusi seluruh otak (The Whole –Brain Solution). Dalam pembelajaran mendengarkan dan membaca teknik pembelajarannya harus sampai pada siswa mampu menemukan strategi informasi yang ditangkapnya bukan hanya siswa mampu mengingat dan menemukan pokok-pokok pikiran. Jika sampai pada penemuan strategi informasi siswa dapat berpikir kritis dan kreatif mengenai pokok pikiran yang disampaikan, pengurutan pokok pikiran, dan pandangan yang melatarbelakanginya. Dalam pembelajaran berbicara siswa diharapkan mampu menyampaikan pikiran-pikiran kritis dan kreatif dalam menghadapi berbagai fenomena kehidupan. Teknik pembelajaran yang digunakan sebaiknya mengarah pada teknik seminar sehingga para siswa disiapkan untuk menemukan topik, mengunduh informasi, meramu gagasan, dan mempresentasikan pikiran-pikiran kritis dan kreatif, baik pada kelas kecil maupun pada kelas besar. Dengan penguatan seperti itu pembelajaran bahasa dapat berkiprah pada pemecahan masalah yang terjadi dalam kehidupan. Dalam pembelajaran menulis para siswa harus mampu menyajikan berbagai tulisannya untuk menjawab tantangan zaman. Penelusuran topik, penemuan masalah, dan pemecahan masalah harus menjadi bagian yang tak terpisahkan. Tulisan para siswa harus mendapat apresiasi untuk dapat disajikan dalam berbagai forum atau penerbitan. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia mampu membentuk keberanian siswa untuk menyampaikan pikiran kritis dan kreatifnya. Dalam pembelajaran kemampuan bersastra para siswa diarahkan untuk mampu menyelami karya sastra (bukan hanya persoalan unsur intrinsik, melainkan juga unsur ekstrinsiknya). Dalam hal memahami unsur intrinsik, kepahaman para siswa bukan hanya sebatas menemukan unsur intrinsik, melainkan juga diajak untuk menembus batas-batasnya sehingga diperlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatifnya. Dalam hal memahami unsur ekstrinsik, para siswa diajak untuk mampu melihat nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra sehingga mereka dapat memberikan pertimbangan mengenai kualitas kehidupan manusia. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Tanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia terletak di tangan pemakai bahasa Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan tertatur kacaunya bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia yang baik. Setiap warga negara Indonesia harus bersama-sama berperan serta dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia itu ke arah yang positif. Usaha-usaha ini, antara lain dengan meningkatkan kedisiplinan berbahasa Indonesia pada era globalisasi ini, yang sangat ketat dengan persaingan di segala sektor kehidupan. Maju bahasa, majulah bangsa. Kacau bahasa, kacaulah pulalah bangsa. Keadaan ini harus disadari benar oleh setiap warga negara Indonesia sehingga rasa tanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia akan tumbuh dengan subur di sanubari setiap pemakai bahasa Indonesia. Rasa cinta terhadap bahasa Indonesia pun akan bertambah besar dan bertambah mendalam. Sudah barang tentu, ini semuanya merupakan harapan bersama, harapan setiap orang yang mengaku berbangsa Indonesia. B. SARAN Kita harus menjaga keberadaan bahasa indonesia di dalam era globlisai. Dalam era globalisasi kita harus tetap bangga memiliki dan menggunakan bahasa Indonesia, kita harus bisa memanfaatkan era globalisasi ini untuk kemajuan bahasa indonesia. Dan saran - saran yang sifatnya membangun dari penbaca sangat kami butuhkan, untuk makalah - makalah kami berikutnya agar lebih baik lagi.